Selasa, 14 Juli 2015

Biologi Oseanografi

TUGAS MAKALAH

MARINE REMOTE SENSING,BIOLOGI OCEONOGRAFI PERAMALAN UPAYA PERIKANAN TANGKAP SILVOFISHERY DAN SEARANCHING (fishing ground)

Lambang UMI.jpg

Abdul Gani Rahyamtel
07320130028

JURUSAN ILMU KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2014
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Berikut adalah pengertian Pengindraan jauh menurut beberapa ahli :
Penginderaan jauh (remote sensing), yaitu penggunaan sensor radiasi elektromagnetik untuk merekam gambar lingkungan bumi yang dapat diinterpretasikan sehingga menghasilkan informasi yang berguna. (Curran, 1985).
Penginderaan Jauh (remote sensing) adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh  dengan suatu alat tanpa kontak  langsung dengan objek, daerah, atau  fenomena yang  dikaji.  (Lillesand dan Kiefer, 1998).
Penginderaan jauh merupakan suatu ilmu, karena terdapat suatu sistimatika tertentu untuk dapat menganalisis informasi dari permukaan bumi, ilmu ini harus dikoordinasi dengan beberapa pakar ilmu lain seperti ilmu geologi, tanah, perkotaan dan lain sebagainya. (Everett Dan Simonett 1976) 
Ikan dengan mobilitasnya yang tinggi akan lebih mudah dilacak disuatu area melalui teknologi ini karena ikan cenderung berkumpul pada kondisi lingkungan tertentu seperti adanya peristiwa upwelling, dinamika arus pusaran (eddy) dan daerah front gradient pertemuan dua massa air yang berbeda baik itu salinitas, suhu atau klorofil-a. Pengetahuan dasar yang dipakai dalam melakukan pengkajian adalah mencari hubungan antara spesies ikan dan faktor lingkungan di sekelilingnya. Dari hasil analisa ini akan diperoleh indikator oseanografi yang cocok untuk ikan tertentu. Sebagai contoh ikan albacore tuna di laut utara Pasifik cenderung terkonsetrasi pada kisaran suhu 18.5-21.5oC dan berassosiasi dengan tingkat klorofil-a sekitar 0.3 mg m-3 (Polovia et al., 2001; Zainuddin et al., 2004, 2006). Selanjutnya output yang didapatkan dari indikator oseanografi yang bersesuaian dengan distribusi dan kelimpahan ikan dipetakan dengan teknologi SIG. Data indikator oseanografi yang cocok untuk ikan perlu diintegrasikan dengan berbagai layer pada SIG karena ikan sangat mungkin merespon bukan hanya pada satu parameter lingkungan saja, tapi berbagai parameter yang saling berkaitan. Dengan kombinasi SIG, inderaja dan data lapangan akan memberikan banyak informasi spasial misalnya dimana posisi ikan banyak tertangkap, berapa jaraknya antara fishing base dan fishing ground yang produktif serta kapan musim penangkapan ikan yang efektif. Tentu saja hal ini akan memberi gambaran solusi tentang pertanyaan nelayan kapan dan dimana bias mendapatkan banyak ikan.
Dengan teknologi inderaja faktor-faktor lingkungan laut yang mempengaruhi distribusi, migrasi dan kelimpahan ikan dapat diperoleh secara berkala, cepat dan dengan cakupan area yang luas. Faktor lingkungan tersebut antara lain suhu permukaan (SST), tingkat konsentrasi klorofil-a, perbedaan tinggi permukaan laut, arah dan kecepatan arus dan tingkat prosuktivitas primer.ikan dengan mobilitas yang tinggi akan lebih muda dilacak disuatu area melalui teknologi ini karena ikan cenderung berkumpul pada kondisi lingkungan tertentu seperti adanya upwelling (Zainuddin, 2006).

1.2.Permasalahan
Beranjak dari latar belakang di atas, permasalahan dalam penulisan makalah ini adalah bagaimana menentukan dearah panangkapan ikan (fishing ground) dengan mengunakan teknologi  sistem penginderaan jauh.
1.3. Tujuan
Ada pun tujuan dari penulisan makalah ini khususnya untuk bidang kelautan dan perikanan :
1.      Mengetahui ikan di laut berada dan kapan bisa ditangkap
2.      jumlah yang berlimpah merupakan pertanyaan yang sangat biasa didengar.
3.      Meminimalisir usaha penangkapan dengan mencari daerah habitat ikan, disisi biaya BBM yang besar, waktu dan tenaga nelayan
4.      Mengetahui area dimana ikan bisa tertangkap dalam jumlah yang besar

1.4. Manfaat :
Salah satu alternatif yang menawarkan solusi terbaik adalah mengkombinasikan kemampuan SIG dan penginderaan jauh (inderaja) kelautan. Dengan teknologi inderaja faktor-faktor lingkungan laut yang mempengaruhi distribusi, migrasi dan kelimpahan ikan dapat diperoleh secara berkala, cepat dan dengan cakupan area yang luas.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penjelasan Teori
Pemanfaatan sumberdaya ikan di laut semakin intensif dan daya jangkauan operasi penangkapan ikan oleh para nelayan semakin luas dan jauh dari daerah asal nelayan tersebut. Konflik sering terjadi karena tidak jelasnya wilayah pemanfaatan yaitu dapat melibatkan nelayan dalam satu daerah yang sama ataupun antara daerah yang satu dengan dengan daerah lainnya. Salah satu upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam menghindari terjadinya konflik pemanfaatan adalah dengan mengendalikan perkembangan kegiatan penangkapan ikan melalui penerapan zonasi jalur penangkapan ikan di laut, berdasarkan Kepmentan No. 392 tahun 1999 tentang jalur-jalur penangkapan ikan (Alisyahbana dan Iksal, 2012).
Pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan harus memperhatikan daya dukung dan kemampuan asimilasi wilayah laut, pesisir. Kesinambungan ketersediaansumberdaya merupakan kunci dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdayakelautan dan perikanan. Sektor kelautan dan perikanan dapat menjadi salah satu sumber pertumbuhan ekonomi penting karena:
1.      Kapasitas suplai sangat besar, sementara permintaan terus meningkat
2.      Pada umumnya output dapat diekspor, sedangkan input berasal darisumber daya
3.      Dapat membangkitkan industri hulu dan hilir yang besar,sehingga menyerap tenaga kerja cukup banyak
4.      Umumnya berlangsung di daerah;dan
5.      Industri perikanan, bioteknologi dan pariwisata bahari bersifat dapat diperbarui(renewable resources), sehingga mendukung pelaksanaan pembangunan berkelanjutan (Manik, 2009).
Teknologi penginderaan jauh, baik system optis maupun non optis merupakan perpaduan teknologi yang sangat canggih (Hi- tech). Dimulai dari teknologi untuk mendapatkan data dan peta dalam rangka eksplorasi sumberdaya kelautan dan pesisir menggunakan satelit dan Echo-sounder, kemudian sistem basis data dan pengolahan citra satelit tersebut, dan di akhiri dengan analisis dan interpretasi citra. Kesemua proses tersebut diatas yang melibatkan kecanggihan teknologi tentunya tidak akan berarti jika sumberdaya manusia yang terlibat didalamnya kurang kompeten. Oleh karena itu kemampuan sumberdaya manusia dalam mengolah dan menginterpretasi data dan citra merupakan salah satu faktor yang sangat berperan dalam menentukan keberhasilan (Human touch). Tenaga ahli yang dimiliki oleh Lab. Inderaja dan SIG memiliki keahlian dan pengalaman yang akan menghasilkan suatu analisis dan kesimpulan yang berkualitas tinggi (Fuad, 2013)
Pengukuran kondisi atau faktor oseanografi perairan dilakukan dengan cara :
1.      Suhu
Pengukuran suhu dilakukan setiap jam di lokasi penangkapan ikan. Pengukuran suhu permukaan laut digunakan untuk verifikasi perhitungan suhu dari satelit NOAA. Jadwal lintasan satelit NOAA diperoleh dari prediksi orbit dari stasiun NOAA.
2.      Salinitas
            Salinitas diukur pada saat penangkapan di lokasi ZPPI.
3.      Arus permukaan
Arus permukaan diukur di lokasi penangkapan ikan, baik arah maupun kecepatannya
4.      Kedalaman perairan, kondisi laut, cuaca
Ketiga parameter tersebut diukur di lokasi ZPPI pada saat penangkapan ikan dilakukan. Kedalaman perairan diukur dengan menggunakan fish finder

Ada dua jenis penginderaan jarak jauh.
1.      Penginderaan Pasif
Sensor mendeteksi radiasi alam yang tercermin emitted atau objek atau sekitarnya yang diamati. Tercermin dari sinar matahari biasanya penginderaan ini menggunakan sumber radiasi diukur oleh sensor pasif. Contoh penginderaan pasif termasuk sensor film fotografi, infra-merah, yang digabungkan perangkat, dan radiometers. , di sisi lain, energi emits untuk memindai benda dan daerah mana yang pasif Sensor kemudian mendeteksi dan mengukur radiasi yang dipantulkan atau backscattered dari target.
2.      Penginderaan aktif
Radar adalah contoh penginderaan aktif dari jarak jauh di mana waktu tunda antara emisi dan kembali diukur, membangun lokasi, ketinggian, kecepatan dan arah obyek.



BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Peramalan Upaya Perikanan Tangkap
3.1.1. Peramalan Secara Modern Dengan Menggunakan Remote Sensing
Mengapa penting :
       Untuk keakuratan estimasi fishing ground, yang perlu dilakukan mengkolaborasikan data acoustic, citra satelit remote sensing dan data oseanograifi dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1.      Langkah dasarnya dengan metode remote sensing satelit, secara ex situ kita harus menemukan perairan yang memiliki klorofil (plankton).
2.      Kemudian, menganalisis hubungannya dengan data oseanografi (suhu, salinitas dan arus) yang juga didapatkan dari satelit dan instrumen oseanografi yaitu argo float.
3.      Kemudian hasil analisis data dari dua instrumen tersebut (satelit dan argo float) dibuat peta estimasi fishing ground yang up to date. Selanjutnya peta estimasi tersebut direlay ke armada penangkapan. Berbekal peta estimasi tersebut armada segera menuju lokasi yang telah diestimasi, lalu mengkolaborasikan peta tersebut dengan data acoustic yang didapatkan dengan echosounder secara in situ (langsung) pada perairan, kemudian dilakukan pemanfaatan (penangkapan) ikan.

3.2.Penerapan Teknologi Pengindraan Jauh (remote sensing) Untuk Penangkapan Ikan
         Pemanfaatan teknlogi Pengindraan jauh untuk sumberdaya perikanan didasari oleh suatu kajian mengenai karakteristik permukaan laut dimana dari sekian banyak karakteristik permukaan laut yang di deteksi oleh satelit pada prinsipnya ada tiga elemen utama yang digunakan untuk penentuan potensi daerah penangkapan ikan yaitu: suhu permukaan laut (SPL) dan persebaran klorofil. Terdapat sejenis plankton yang mengandung klorofil (zat hijau daun). Plankton ini merupakan makanan ikan-ikan kecil yang pada gilirannya akan menjadi makanan bagi ikan yang lebih besar. Jadi dengan mendeteksi lokasi klorofil, maka secara tak langsung akan mendeteksi lokasi yang mungkin banyak ikannya. Cara mendeteksi klorofil ini, pada dasarnya adalah sangat sederhana.

           Sensor yang ada pada satelit diberi filter hijau (band hijau) secara digital, artinya detektor akan mendeteksi sinar hijau saja. Jadi sensor mendeteksi klorofil yang ada di laut. Tentu saja sangat perlu dilakukan beberapa sample pengukuran di laut (in-site, pengukuran di tempat), karena belum tentu sinar hijau yang dicatat oleh sensor satelit berasal dari klorofil. Setelah melakukan pengukuran di beberapa tempat dengan kapal misalnya, maka kini dapat dilakukan interpolasi atau ekstrapolasi terhadap data / citra satelit yang mempunyai liputan yang sangat luas itu; situasi klorofil pada lokasi yang luas dapat ditentukan dengan cepat. Seterusnya para nelayan akan diberi tahu untuk menentukan daerah operasi mereka. 

Lokasi tempat berkumpulnya ikan dapat ditentukan dengan kombinasi antara lain :
1.    lokasi klorofil
2.     suhu permukaan laut
3.    pola arus laut
4.    cuaca, serta karakter toleransi biologis ikan terhadap suhu air.

           Terdapat beda suhu di seantero muka laut. Hal ini disebabkan oleh naiknya lapisan air laut di sebelah bawah ke atas (upwelling) karena perbedaan suhu. Kenaikan lapisan air ini juga membawa zat makanan bagi kehidupan di laut. Jadi dengan mendeteksi upwelling akan dapat pula memberi petunjuk akan adanya ikan. Di samping itu setiap jenis ikan memiliki zona suhu yang tertentu sebagai habitatnya. Satu alternatif yang sangat tepat untuk mengatasi masalah tersebut di atas adalah menggunakan teknologi penginderaan jauh.


1.    Pendeteksian Ikan secara langsung untuk keperluan penangkapan ikan dan pendugaan stok ikan, pendeteksian ikan secara langsung dilakukan dengan 2 cara Menggunakan tranportasi udara Pengamat terbang dan mencari kumpulan ikan (fish schooling). Pendeteksian yang dilakukan adaah identifikasi jenis, ukuran dan jumlah dari kumpulan ikan tersebut. Pendeteksian jenis ini menuntut keahlian pengamat dalam mendeteksi ikan. Menggunakan teknologi akustik (echosounder) Dengan menggunakan teknologi sonar, ikan dapat dideteksi secara langsung dari atas kapal. Akurasi dan luas wilayah pendeteksian dapat diatur secara mekanik dan elektronik. Data pendeteksian dapat disimpan untuk diolah nanti
2.    Pendeteksian Ikan secara tidak langsung
      Penginderaan jauh secara tidak langsung adalah dengan menggunakan kemampuan mendeteksi habitat yang sesuai untuk tempat berkumpulnya ikan Pendeteksian secara berkelanjutan membutuhkan data yang berkelanjutan pula. Kemampuan menyimpan dan mengolah data ini menjadikan Penginderaan  GIS (Geographical Information System
àJauh
3.    Pendeteksian wilayah Aquakultur
Budidaya ikan sangat tergantung dengan lokasi. Citra saletit yang komprehensif dapat membantu memilih lokasi yang ideal Budidaya ikan dan kerang mutiara di laut juga memerlukan data perubahan kondisi perairan yang kontinu. Budidaya jenis ini sangat dipengaruhi kualitas air dan kondisi perairan sebagai contoh; blooming alga terutama jenis yang beracun (Harmful Alga Blooms HAB).

3.4. Penerapan Teknologi Inderaja Untuk Penangkapan Ikan
             Inderaja dengan menggunakan satelit merupakan sarana yang sangat bermanfaat dalam mengelola sumberdaya perikanan secara bijaksana, termasuk kegunaanya untuk mendeteksi zona potensi penangkapan ikan. Untuk perikanan, bukanlah ikan yang tampak langsung, tetapi adalah fenomena alam yang memungkinkan adanya ikan di suatu tempat, karena pada tempat itu banyak terdapat makanan ikan dan mempunyai kondisi lingkungan yang sesuai dengan jenis ikan tertentu. 
Terdapat sejenis plankton yang mengandung klorofil (zat hijau daun). Plankton ini merupakan makanan ikan-ikan kecil yang pada gilirannya akan menjadi makanan bagi ikan yang lebih besar. Jadi dengan mendeteksi lokasi klorofil, maka secara tak langsung akan mendeteksi lokasi yang mungkin banyak ikannya. Cara mendeteksi klorofil ini, pada dasarnya adalah sangat sederhana. Sensor yang ada pada satelit diberi filter hijau (band hijau) secara digital, artinya detektor akan mendeteksi sinar hijau saja. Jadi sensor mendeteksi klorofil yang ada di laut. Tentu saja sangat perlu dilakukan beberapa sample pengukuran di laut (in-site, pengukuran di tempat), karena belum tentu sinar hijau yang dicatat oleh sensor satelit berasal dari klorofil. Setelah melakukan pengukuran di beberapa tempat dengan kapal misalnya, maka kini dapat dilakukan interpolasi atau ekstrapolasi terhadap data / citra satelit yang mempunyai liputan yang sangat luas itu; situasi klorofil pada lokasi yang luas dapat ditentukan dengan cepat. Seterusnya para nelayan akan diberi tahu untuk menentukan daerah operasi mereka.
3.5. Hubungan Antara Fenomena Alam Dengan Teknologi Inderaja
Dalam kaitannya dengan teknologi inderaja, fenomena merambatnya (propagation) energi matahari ke bumi dan reaksi dari obyek-obyek di bumi terhadap energi matahari tersebut (obyek di bumi dapat memantulkan/reflected, memancarkan/emitted,mengalirkan/transmitted maupun menyerap/ absorbed energi matahari yang datang padanya), menjadi unsur utama yang harus ditelaah dan dapat membuahkan ilmu. Selain itu, angkasa luar beserta fenomenanya, yaitu tidak adanya gaya gravitasi, karakteristik planet-planet di alam semesta maupun perputaran bumi pada porosnya membuat manusia menciptakan satelit yang mengorbit di angkasa luar, sama seperti planet-planet di alam tersebut. Kemudian untuk menghubungkan fenomena energi matahari dengan perkembangan teknologi satelit ini, manusia menciptakan alat optik yang diletakan pada satelit dan dapat merekam energi matahari yang dipantulkan (reflected) , diserap (absorbed) maupun di pancarkan (emitted) oleh obyek-obyek di bumi. Sehingga terjadilah apa yang disebut dengan teknologi inderaja optik (optical remote sensing) yang antara lain dapat menggunakan wahana satelit sebagai sarananya atau dikenal dengan sebutan satellite remote sensing. Fenomena yang terjadi di alam pada dasarnya mengacu pada kaidah bahwa energi matahari yang berinteraksi dengan obyek-obyek di bumi ini berada pada kisaran gelombang elektromagnetik tertentu (sebagaimana dijelaskan pada Gambar 1).
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi6U_MgqgR8TlyaesCn1L-lNIP23ZGH3EJHXz6ZtkY002hrxV_vUxRA7N1TnUFrXcw8C-TCWgytveTALI6gqYjn6vW1EvHgbKsJdEr10nzenhYrLMkyu8RKDXCTcUFSqMnj74a1vdhcqxMV/s200/1.jpg
Gambar 1. Spektrum Gelombang Elektromagnetik (Lillesand and Kiefer, 1987)

Dalam perjalanannya, sebagian dari energi ini akan dipantulkan oleh partikel debu maupun molekul air ataupun mengalami refraksi (scattered radiation) pada lapisan atmosfir. Sementara sebagian dapat berinteraksi dengan bumi dan dapat dipantulkan (reflected energy), diserap (absorbed energy), ataupun dialirkan ke lapisan lain (transmitted energy). Data yang dipantulkan obyek di bumi (disebut sebagai nilai reflectance) ini yang direkam oleh sensor pada satelit, dikirim ke stasiun bumi dan diterjemahkan sebagai nilai kecerahan (brightness value) atau nilai digital (digital value) saat disimpan pada computer compatible tape (CCT) untuk pemanfaatan lebih lanjut (lihat Gambar 2).
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhErf5hrCe8sFcKupSOVzZKGDxpk2dWSi_dERi1s5H26KtEwhW8xCF4cAli-PmlBNPSd2OnxlS9PLor8c2iCWtG5JdAR6wd_8PruTkliYw7BTH-A8vGhwmxlHo1M9tDsFq8WpKV60-oSkJI/s200/2.jpg
Gambar 2. Uraian interaksi obyek-obyek di permukaan bumi dengan gelombang
elektromagnetik sehingga dihasilkan citra inderaja
Energi elektromagnetik yang dipantulkan, diserap, dialirkan maupun di pancarkan ini sifatnya sangat bervariasi tergantung pada karakteristik obyek-obyek di permukaan bumi tersebut. Keadaan ini menunjukan bahwa setiap obyek dibumi mempunyai spectral respond (reaksi spektral) yang berbeda. Hal inilah yang dimanfaatkan dalam sistim inderaja melalui sistim sensor pada satelit yang juga mempunyai spectral sensitivity (kepekaan terhadap spektral) tertentu sebagai dasar terbentuknya data inderaja. Adapun karakteristik spektral dari beberapa unsur-unsur utama di permukaan bumi, yaitu tumbuhan, tanah dan air dapat dilihat pada Gambar 3.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjzTuZXEhr3yhyphenhyphenia8iROJU4ktxmfw9uk2mTq1JYHf_Rr4fy7__ZEFB8UsgMtkRdqwj-yE63CugK1___3pgBuGY-6YhO9NwHeVmz60ekQsTfo-F7YAFRrv2E2wnD6C062xbVDglNn_Ptc-cI/s200/3.jpg
Gambar 3. Karakteristik spektral reflektansi tanah, air dan vegetasi (Lillesandand Kiefer, 1987)
3.6. Teknologi Inderaja Untuk Perikanan
Dengan mengacu pada fenomena alam yang menunjukan adanya karakteristik obyek di bumi yang sangat spesifik dalam merespond energi matahari (yang berada pada spektrum elektromagnetik), yang antara lain ditunjukan pada gambar 3. Dapat dilihat peranan spektrum tampak mata (visible spectrum) untuk sumberdaya kelautan, yang ditunjukan oleh kurva reflectancenya pada tubuh air. Spektrum ini mempunyai panjang gelombang berkisar antara 0.4-0.7 um, yang terdiri dari spektrum tampak mata biru (visible blue) dengan panjang gelombang 0.4–0.5 um, spektrum tampak mata hijau (visible green) dengan panjang gelombang 0.5–0.6 um dan spektrum tampak mata merah (visible red) dengan panjang gelombang 0.6–0.7 um (Jensen, 1986; Lillesand and Kiefer, 1987; Swain and Davis, 1978).
Kemampuan merambat (propagation) di dalam kolom air dari ketiga spektrum tampak mata tersebut dan reaksi spektralnya sangatlah beragam. Gelombang tampak mata biru (visible blue) mempunyai kemampuan rambat yang sangat tinggi, dimana gelombang ini dapat menebus lapisan air sampai ke dalaman 100 m (Nybakken, 1992). Gelombang tampak mata hijau (visible green) mempunyai kemampuan rambat (propagation) yang lebih pendek di dalam tubuh air dibandingkan dengan gelombang tampak mata biru (visible blue). Sedangkan gelombang tampak mata merah (visible red) merupakan gelombang yang terpendek dalam menebus lapisan kolom air. Di dalam kolom air gelombang tampak mata ini akan mengalami absorsi maupun transmisi. Dan apabila gelombang ini berinteraksi dengan materi yang berada di dalam kolom air barulah akan terjadi refleksi yang nilainya akan direkam oleh sensor pada satelit.

Adapun kaitan antara fenomena alam dari gelombang elektromagnetik ini dengan perikanan pada prinsipnya mengacu pada pangkal dari semua bentuk kehidupan dalam laut, yaitu aktivitas fotosintetik tumbuhan akuatik. Dimana dengan menggunakan bantuan energi cahaya matahari, dapat mengubah senyawa-senyawa anorganik menjadi senyawa organik yang kaya energi dan dapat menjadi sumber makanan bagi semua organisme laut (Nybakken, 1992). Diantara semua tumbuhan akuatik fitoplanktonlah yang mengikat sebagian besar energi matahari, dan menjadi dasar (level pertama) terbentuknya rantai makanan dalam ekosistem bahari, dan sangat penting keberadaannya bagi semua penghuni habitat bahari (Nybakken, 1992; Dupouy, 1991). Pada dasarnya fitoplankton terdiri dari alga yang berukuran mikroskopik yang berisikan pigment fotosintetik berwarna hijau, dan biasa disebut sebagai klorofil (Dupouy, 1991). Klorofil yang berwarna hijau inilah yang pada dasarnya menjadi sumber informasi perikanan laut karena keterkaitannya yang erat dengan produktivitas primer perikanan, sehingga dapat disimpulkan dimana terdapat konsentrasi klorofil yang tinggi disitu terdapat juga konsentrasi biota atau ikan laut yang tinggi.
Dalam kaitannya dengan inderaja, klorofil merupakan obyek yang mudah dianalisa untuk memprediksi potensi perikanan laut. Karena unsur ini akan menyerap gelombang tampak mata biru dan memantulkan gelombang tampak mata hijau secara kuat. Sehingga ketika terjadi peningkatan kandungan klorofil, dapat dilihat adanya peningkatan energi yang dipantulkan oleh gelombang tampak mata hijau, dan penurunan pantulan gelombang tampak mata biru yang signifikan (Gambar 4)(Swain and Davis, 1978).
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhFuPvU88Dci-VtHCSXinIf6n3k2X0wEWCM4q7-G_7yomk1BQE8yxrO6TRbj2He-Or1CqzUX75euxbBuk2imu7TVGh6_zRIpuM1QE_8K1xWQPkk4fAySdc1w52EV9fpSXMdZ0QdSkGrE-gJ/s200/4.jpg
Gambar 4. Spektral reflektans dari air laut dgn konsentrasi klorofil yang berbeda (Swain and Davis, 1978)
Contoh dari penerapan karakteristik spektrum tampak mata (visible spectrum) untuk memprediksi produktivitas laut (marine productivities) melalui konsentrasi klorofil salah dapat dilihat pada gambar 5. Dimana warna hijau tampak sebagai reaksi dari spektrum tampak mata hijau yang berinteraksi dengan Klorofil dan warna biru merupakan reaksi dari laut yang berinteraksi dengan spektrum tampak mata biru, yang dalam penelitian ini kedua unsur tersebut diberi warna berbeda, yaitu hitam kecoklatan untuk laut dalam, biru untuk konsentrasi klorofil rendah dan hijau untuk konsentrasi klorofil tinggi. Akan tetapi, fitoplankton atau klorofil umumnya hanya menghuni suatu lapisan air permukaan yang tipis dimana terdapat cukup cahaya matahari, dan mempunyai suhu yang relatif homogen. Sedangkan zat hara anorganik yang dibutuhkan fitoplankton untuk tumbuh dan berkembang biak terletak pada zona fotik yang terdapat jauh dari permukaan dengan suhu yang berbeda jauh (lebih dingin) dengan suhu permukaan. Sehingga dibutuhkan suatu mekanisme untuk mengangkat massa air yang kaya akan hara ini ke permukaan sehingga dapat bercampur dengan massa air permukaan dan dapat dimanfaatkan oleh fitoplankton untuk tumbuh dan berkembang (Nybakken, 1992). Dalam hal ini perpindahan massa air ke atas (upwelling), arus-arus divergensi dan arus-arus khusus, yang menyebabkan terjadinya fenomena front dan eddie di laut, dapat memindahkan dan mencampurkan kedua massa air yang berbeda suhu tersebut dengan bantuan kekuatan angin. Upwelling merupakan penaikan massa air laut dingin dan kaya nutrien ke lapisan di atasnya (Longhurst, 1988).
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgJGIo9gc38iBE9Z-oBaONcjgPviHvi5JEV79hBajqTueoe7zUtmgyD0PL1jiwO5M3gTU73tigVmOadEVO7BJO5-M6qGBLfs8gb2bus7G8oyPKrTdP9v5zYhFZljqMfCNsM6UcmJwf2_vde/s320/5.jpg
Gambar 5. Distribusi klorofil pada perairan Nusa Tenggara Timur dengan menggunakan data Modis_Terra (http://www.gsfc.nasa.gov)

Front merupakan pertemuan dua massa air yang berbeda karakteristiknya, misalnya pertemuan antara massa air laut Jawa yang agak panas dengan massa air Samudera Hindia yang lebih dingin dan ditandai dengan gradient suhu permukaan laut yang sangat jelas pada kedua sisi front (Hasyim dan Salma, 1998). Berikut ini merupakan gambaran dari proses terjadinya upwelling (Gambar 6).
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgP-P1gifgPwHsSyHtTE_qyfd_73ImcWxFKSgIdXrvo739ONLtlIC2jZOWoWl6IvKx1pyjLLTwgirbrba77cW-mn3N9SGAmyw8iUT7WVdjMPUGLf6tXd8QVKy4im0bzKbsRPMIEkDsCusDb/s320/6.jpg
Gambar 6. Proses terjadinya upwelling dan downwelling
Umumnya sebaran konsentrasi klorofil-a tinggi di perairan pantai sebagai akibat dari tingginya suplai nutrien yang berasal dari daratan melalui limpasan air sungai, dan sebaliknya cenderung rendah di daerah lepas pantai. Meskipun demikian pada beberapa tempat masih ditemukan konsentrasi klorofil-a yang cukup tinggi, meskipun jauh dari daratan. Keadaan tersebut disebabkan oleh adanya proses sirkulasi massa air yang memungkinkan terangkutnya sejumlah nutrien dari tempat lain, seperti yang terjadi pada daerah upwelling. Sedangkan eddie merupakan gerakan air berpusar searah arus yang disebabkan adanya pertemuan massa air panas dan dingin sehingga dapat tercipta cold ring (cold eddie) dan warm ring (warm eddie) (Gambar 7) (Longhurst, 1988). Upwelling, front dan eddie merupakan perangkap zat hara dari kedua massa air yang berbeda suhu tersebut sehingga dapat merupakan feeding ground bagi jenis-jenis ikan pelagis dan juga dapat menjadi penghalang bagi pergerakan migrasi ikan karena pergerakan airnya yang sangat cepat dan bergelombang besar (Hasyim dan Salma, 1998). Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan stok ikan di ketiga tempat tersebut dan menjadi tempat yang ideal untuk penangkapan ikan jenis pelagis. Dengan demikian suhu dapat menjadi salah satu paramater yang dapat dimanfaatkan oleh sistim inderaja untuk menduga stok ikan, yaitu dengan menggunakan gelombang thermal. Karena obyek di bumi, termasuk tubuh air, juga merupakan sumber radiasi, dimana obyek yang mempunyai suhu di atas nilai absolut 0oC akan memancarkan energi panas ke atmosfir (Lillesand and Kiefer, 1987). Energi inilah yang ditangkap oleh sensor thermal pada satelit untuk diterjemahkan menjadi nilai digital pada citra satelit.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhVGY_CXdrmn9uWBKLLv17PrnI6xviz31sazZlZ7GLQ_d7tZIst3VksEE1XinhCy-zZqPnH0p4tVO81i8ymmrmljwWoaHuZNTBah77DWQeM49i1XQPCf0yDe_Pt1heQuPFJnFRLkWZbiVen/s200/7.jpg
Gambar 7. Perbedaan eddies pada kedalaman perairan(www.oc.nps.navy.mil)

Contoh dari pemanfaatan fenomena suhu laut dan gejala-gejala alam seperti upwelling, eddie dan front untuk memonitor daerah penangkapan ikan jenis-jenis tertentu seperti skipjack, saury dan sardine dapat dilihat pada Tabel 1 dan Gambar 8 di bawah ini.
Tabel 1. Monitoring jumlah daerah penangkapan ikan pada kondisi oseanografi tertentu (Tameishi, 1991).
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh1YCRCZxJY11mSYqikGmQbLJg7FNS3k3VwusDP77zTawGYxP6MMgtL_qLrHf7RSu8qmJYL2dhf3cFvWwD2Wj5Ja85Itg_Z_bVyRey4xpM5QnyXQWPIGViurVT_065cjw3s4M5Bf4o1OuBZ/s200/8.jpg
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEilTY-EsoIv6d3ElM4OCFIBog3DZ999JbT7DOE222TuUIbNGlZVbyVzsn6j4hQEmT1nl6ybj6xEQ7KkANtpnJkrbY2XNdDSOCgOJuXcNcxIEhEwUfbvgh3bsZjkkosydVnJ8CdHTjA3EMIQ/s200/9.jpg

3.7.  Analisis Daerah Potensi Perikanan
Masalah utama yang dihadapi dalam upaya optimalisasi hasil tangkapan kan khususnya ikan pelagis adalah sangat terbatasnya data dan informasi mengenai kondisi oseanografi yang berkaitan erat dengan daerah potensi penangkapan ikan. Armada penangkap ikan berangkat dari pangkalan bukan untuk menangkap tetapi untuk mencari lokasi penangkapan sehingga selalu berada dalam ketidakpastian tentang lokasi yang potensial untuk penangkapan ikan, sehingga hasil tangkapannya juga menjadi tidak pasti. Oleh karena itu, informasi mengenai daerah potensi penangkapan ikan sangat diperlukan dalam pembangunan sektor perikanan, khususnya bagi kegiatan penangkapan ikan. Informasi tersebut dapat diperoleh melalui kegiatan survei, eksplorasi dan penelitian-penelitian dengan menelaah karakteristik serta variabilitas dari parameter oseanografi. Pengamatan dan monitoring fenomena oseanografi dan sumberdaya hayati laut memerlukan penggunaan serial data dalam selang waktu observasi tertentu (harian, mingguan, bulanan atau tahunan). Dari citra suhu permukaan laut (SPL) multitemporal dapat diperoleh informasi tentang pola distribusi SPL dan upwelling atau front yang merupakan daerah potensi ikan. Dari citra klorofil-a dapat diperoleh informasi konsentrasi fitoplankton (mg/m3) dengan nilai yang diwakili oleh degradasi warna yang berbeda. Diagram alir untuk analisis daerah potensi perikanan disajikan pada Gambar 9.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjd13fRSuecTs2nDNBrcegX8iN8erVdRsTnJPMxgGHzxOZr8hls4dgJs4MnuZNlt-KyQ5wYaarQhNJR9AUxXUb43LijzQKAX7xnK187OzNjOUG-e_AGKl8t9ybR8AK7sHFiiX5nIepXYt5X/s320/10.jpg

Berikut ini adalah beberapa data dan metode yang dapat dipakai dalam pengambilan dan analisis data parameter oseanografi dari citra hasil download. Studi sebaran suhu permukaan laut dan kandungan klorofil-a dengan menggunakan citra MODIS di wilayah perairan sekitar Nusa Tenggara Timur (NTT) pada empat musim tahun 2006 dengan mengambil citra perbulannya dan akan dilaksanakan pada bulan Juli 2007. Lokasi yang dijadikan sebagai tempat penelitian atau daerah kajian penelitian adalah wilayah perairan sekitar NTT dengan koordinat 119º-126ºBT dan 07º-12ºLS (Gambar 10).
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEguAPDGjK0-KPWFfM_d8Wt-3waLKYQUM0sowLwSNM1CRWadg192sJ29fV_5WqhrtRY22OZa0hJlmbRd8-liwnrxI6ikgLRvAAt20qnPKGS6UvS85LypMB5adZfRg00O7e_MysJvTr4HUbGT/s200/11.jpg
Gambar 10. Peta wilayah perairan sekitar Nusa Tenggara Timur (Sumber : Petalaut, 2005)


3.8. Kombinasi Aplikasi Inderaja Dan Aplikasi SIG
Salah satu contoh aplikasi penggunaan SIG dan inderaja pada penangkapan ikan tuna di laut utara Pasific (Gambar 1).  Disini terlihat bahwa dua database (satelit dan perikanan tuna) dikombinasikan dalam mengembangkan spasial analysis daerah penangkapan ikan tuna. Pada prinsipnya ada 4 layer/lapisan data yang diintegrasikan yaitu suhu permukaan laut (SST) (NOAA/AVHRR), tingkat konsentrasi klorofil (SeaWiFS), perbedaan tinggi permukaan air laut (SSHA) dan eddy kinetik energi (EKE) (AVISO). Parameter pertama (SST) dipakai karena berhubungan dengan kesesuaian kondisi fisiologi ikan dan thermoregulasi untuk ikan tuna; sedangkan parameter yang kedua karena dapat menjelaskan tingkat produktifitas perairan yang berhubungan dengan kelimpahan makanan ikan; sementara parameter yang ketiga berhubungan dengan kondisi sirkulasi air daerah yang subur seperti eddy dan upwelling ; dan parameter terakhir berhubungan dengan indeks untuk melihat daerah subur dan kekuatan arus yang mungkin mempengaruhi distribusi ikan. Data penangkapan ikan tuna (lingkaran putih pada peta yang ditunjukkan dengan tanda panah) diplot pada peta lingkungan yang dibangkitkan dari citra satelit. Sedangkan panel atau layer yang paling atas menunjukkan peta prediksi hasil tangkapan (Agus, 2009)

Gambar 1 memberi informasi bahwa ikan tuna tertangkap dalam jumlah yang besar (terkonsentrasi) pada posisi sekitar 35oLU dan 160oBT bersesuaian dengan kondisi SST sekitar 20oC dan berassosiasi dengan tingkat klorofil-a sekitar 0.3 mg m-3. Konsentrasi ikan tersebut berada pada posisi positif anomaly permukaan laut (warna merah) yang bertepatan dengan kondisi EKE yang relatif lebih tinggi. Dari Gambar itu terlihat bahwa prediksi hasil tangkapan dengan peluang yang tinggi (dikenal dengan istilah habitat hotspot) juga menkonfirmasi daerah produktif tersebut. Setiap spesies ikan mempunyai karakteristik oseanografi kesukaannya sendiri dan cenderung menempati daerah tertentu yang bisa dipelajari. Hal ini dapat diketahui dengan pendekatan SIG dan inderaja multi-layer tersebut.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhcdiNgMK8g4CIv0yghE5h_5KnqYyL5NNqCmcsdraXbofC0IYSgmAO2HWVUk8hvTXdjrze63KRFRA7Cn9wvjeAfPtgtjp4sunL1BP3JR435Ftwf1gCHvjNvKlTRghLiWTHcdhP9oLGAbIQ/s1600/tugas+pak+rusdi.jpg
Gambar 1. Aplikasi SIG dan inderaja dalam kegiatan penangkapan ikan tuna pada bulan November 2000 (resolusi semua layer citra = 9 Km) (Zainuddin, 2006).

Contoh lain aplikasi SIG di selatan pulau Hokkaido, Jepang dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini. Peta ini menunjukkan berbagai informasi spasial yang bisa kita pahami tentang perikanan tangkap di sekitar pulau tersebut, khususnya perikanan cumi-cumi. Disni peta SIG menggambarkan dimana posisi pelabuhan perikanan (fishing port), jarak antara fishing ground (daerah penangkapan) dan pelabuhan, distribusi hasil tangkapan, jumlah kapal yang tersedia. Dari informasi ini dapat dilihat bahwa distribusi musiman daerah penangkapan, hasil tangkapan dan jumlah kapal penangkap akan menghasilkan informasi tentang jalur migrasi spesies cumi-cumi tersebut yaitu cenderung ke utara pada bulan Juni dan kembali ke selatan pada bulan November.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiQX_gGMqdtJXKVIKRZ_Y87N7DT2Yxsdmn3wkXjLaOrgnLasQ7_6QNeBGygFQcGqF3uPpjDMkiUkLar02WQ2n1LskCsyCP_E4EI8dj2t5vKBop5vxJX3bYz5pYonuSHkWRCxrIR7SQAY7E/s1600/2.jpg
Gambar 2. Peta distribusi daerah penangkapan cumi-cumi dan jumlah kapal dan hasil tangkapannya di sekitar pulau Hokkaido, Jepang pada bulan Juni (kiri) dan November (kanan).

Dunia kelautan merupakan dunia yang sangat dinamis, disini hampir semunya bergerak kecuali dasar lautan. Di wilayah yang merupakan bagian bumi terbesar ini, terdapat banyak sumber daya alam yang bisa menghasilkan pendapatan yang tinggi untuk suatu daerah atau pemerintahan, contohnya adalah sumber daya ikan. Indonesia merupakan suatu negara yang sangat luas dan memiliki sumber daya perikanan yang sangat besar juga. Kurangnya pemanfaatan teknologi dalam eksploitasi sumber daya ikan2 tersebut menyebabkan tidak optimumnya pemanfaatan sumber daya ikan yang ada. Pemanfaatan suatu teknologi seperti Sistem Informasi Geografis untuk perikanan di harapkan dapat mampu memberikan suatu gambaran dan suatu tampilan spasial tentang sumber-sumber atau spot-spot perikanan di wilayah indonesia yaitu dengan menggabungkan faktor-faktor lingkungan yang mendukung tempat hidup dan berkumpulnya berbagai jenis ikan tersebut sehingga dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan hasil penangkapan ikan (Kusyanto, 2001).
Setiap jenis ikan mempunyai suatu kriteria-kriteria lingkungan tersendiri untuk kenyaman hidupnya, namanya juga mahluk hidup. Kriteria-kriteria lingkungan tersebut adalah seperti suhu, makanan (chlorophyl-a), salinitas, pertemuan masa air (eddy), upwelling, dll. Keadaan lingkungan yang merupakan syarat kebahagian hidup bagi ikan2 tersebut merupakan suatu sebaran spasial yang dapat di olah dengan Sistem Informasi Geografi (Subani dan Barus, 1988).

Data-data lokasi pendaratan kapal penagkapan, batas pantai bisa diperoleh dari survei lapangan dan peta dasar wilayah. Sistem informasi geografi merupakan suatu interaksi antara data-data atribut dan data spasial yang bereferensi geografi. Keunggulan SIG ini dapat dijadikan masukan berharga bagi para nelayan atau pengusaha perikanan untuk mengetahuai lokasi-lokasi penangkapan ikan. Dengan bantuan data SST, klorofil, PAR (Photosintesis Actibe Radiation) dll bulanan dalam beberapa tahun yang diperoleh dari PJ dan dianalisis dengan SIG akan memberikan tampilan secara geografis kencendrungan seberan dari faktor2 lingkungan yang disukai oleh ikan yang akhirnya memberikan gambaran daerah perkiraan penangkapan ikan. SIG perikanan lebih sering bermain dengan bentuk data raster. Data-data SST, klorofil dll tersebut merupakan suatu data dari citra satelit yang berbentuk raster (Bengen, 2002).

Data raster mempunyai kelemahan dalam proses penyimpaan dan kemampuannya berinteraksi dengan data atribut. Data bentuk raster membutuhkan tempat penyimpanan yang sangat besar sehingga boros hardisk, data raster juga merupakan data angka per pixel sehingga tidak bisa di gabung dengan data tabel, keadaan ini terjadi apabila data raster tersebut bersifat degradasi. Untuk bisa menggabungkannya dengan data tabel harus di reklasifikasi terlebih dahulu, sehingga membentuk ID2. Interkasi data atribut dengan data spasial sangat berguna pada lokasi pendaratan ikan, dimana pelaporan secara berkala tentang hasil penagkapan ikan akan memberikan informasi wilayah penghasil ikan terbesar dan informasi tentang pemanfaatan potensi perikanan yang ada disekitar lokasi pendaratan kapal. Pengembangan SIG untuk kelautan mempunyai dua kendala umum, pertama bahwa dasar-dasar perkembangan SIG adalah untuk keperluan analisis keruangan pada suatu lahan (land-based sciences), kedua analisis SIG untuk laut lebih banyak menggunakan 3D, sedangkan SIG sendiri masih kurang mampu mengaplikasikan 3D secara baik pada daerah2 yg luas (Subandar, 2009).                                             
3.9.  Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) Untuk Zonasi Jalur Penangkapan Ikan Diperairan Kalimantan Barat
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgFLa32dbWdNOE_P9SB2Jg1sEMMUL5d4NLzUFLxAdfwGS-Y4Zi0fahrMIsMeNA0y7f9tzjJugy4FhARN70dDZSbg_3MPKMpjVuS8FnqFQzziAd8DaZMKMr57BkSbMjk21Kd8WYIzNA2Ub0/s1600/3.jpg
Jalur Penangkapan Ikan Berdasarkan Kepmentan No. 392 Tahun 1999.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhRPkCudUl46qbcBwxswHTGUlcC8gHhOdLf9CKAuVBN1Yu5orii78GTerwkQ8_thAuZ9W32EXQmRABQqpmbE3nJh_bqGwLJo1cRR-7anZaqdAf8MS8umdRRdA-fY_BzbZU0IEaHE-RliLc/s1600/4.jpg
Peta Modifikasi Jalur Penangkapan Ikan Berdasarkan Kepmentan No. 392 Tahun 1999

3.10.         Aplikasi Sistem Informasi Geografis Dalam Penentuan Daerah Pengoperasian Alat Tangkap Gombang Di Perairan Selat Bengkalis
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjftQAwlG5e3We7HnSPKNdDou3r8btBTjZmNoPBmPiYNP8wsd6OephO42uVDXrJ6GVPCR7keVbip0ixFczh5YOQz_hl_D6v5Knc3VZdlbRV_zT815xiWleNtIOmvAai68ttRJ4dN-DJCTA/s1600/5.jpg

3.11.         Aplikasi Sistem Informasi Geografis Dalam Penentuan Kesesuaian Kawasan Keramba Jaring Tancap Dan Rumput Laut

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhCjcjGudR5uZn2zV6wwR2T16JNCIInsS49XvRMZzVY57GHws4r5sU8TyfXx_F7e41t58iwHkjm6d-ninGtN5pbYKzoQTw1FOmL0duYnUBgtqY1IvpB7ta9hzLSyyRetIJEdrovaXh7qzY/s1600/6.jpg
Kesesuaian kawasan KJT dan rumput laut di perairan Pulau Tiga
BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Penginderaan jauh (remote sensing), yaitu penggunaan sensor radiasi elektromagnetik untuk merekam gambar lingkungan bumi yang dapat diinterpretasikan sehingga menghasilkan informasi yang berguna. (Curran, 1985).
Penginderaan Jauh (remote sensing) adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh  dengan suatu alat tanpa kontak  langsung dengan objek, daerah, atau  fenomena yang  dikaji.  (Lillesand dan Kiefer, 1998).
Dengan teknologi inderaja faktor-faktor lingkungan laut yang mempengaruhi distribusi, migrasi dan kelimpahan ikan dapat diperoleh secara berkala, cepat dan dengan cakupan area yang luas. Faktor lingkungan tersebut antara lain suhu permukaan (SST), tingkat konsentrasi klorofil-a, perbedaan tinggi permukaan laut, arah dan kecepatan arus dan tingkat prosuktivitas primer.ikan dengan mobilitas yang tinggi akan lebih muda dilacak disuatu area melalui teknologi ini karena ikan cenderung berkumpul pada kondisi lingkungan tertentu seperti adanya upwelling (Zainuddin, 2006).

4.2. Saran
Penggunaan iptek dalam dunia dewasa ini sangat pesat, namun dibalik semua itu tersimpan bahaya yang sangat mengancam, oleh karena itu penggunaan iptek khususnya dalam sistem penginderaan jauh dalam kelautan haruslah tetap berpedoman pada kebaikan dan kemajuan sumberdaya alam.





DAFTAR PUSTAKA

Brown, B.O dan Minnet, P.J. 1999. MODIS Infrared Sea Surface Temperature Algorithm. Algorithm Theoretical Basis Document Version 2.0. University of Miami. Florida. Miami.

Colorado. 2004. Sea Surface Height Anomaly. TOPEX/POSEIDON.http://www.ccar.colorado.edu/. [30 Juni 2005]

Dupouy, C. 1991. Satellite Ocean Color Use for Oceanic Resources: Monitoring ocean productivity using NIMBUS CZCS. Aplications of Remote Sensing in Asia and Oceania: Environmental Change Monitoring. Asian Association on Remote Sensing, Tokyo, Japan. pp 313-318

Hasyim, B. dan Nia Salma. 1998. Analisis Distribusi Suhu Permukaan Laut dan Kaitannya Dengan Lokasi Penangkapan Ikan dan Laju Pancing Ikan Tuna di Perairan Selatan Bali – Jawa Timur. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan Ke-8 MAPIN. Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia. Jakarta, Indonesia. pp 249-256

Jensen, J.R. 1986. Introductory Digital Image Processing: A Remote Sensing Perspective. Prentice-Hall. Englewood – New Jersey. USA
LAPAN. 2004. Model Ekstraksi Data MODIS Untuk Penentuan Suhu Permukaan Laut dan Klorofil. Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh. Pekayon. Jakarta Timur.
Lillesand, M. dan Kiefer, R.W. 1990. Remote Sensing and Image Interpretation. John Wiley & Sons, Inc., New York.

Lillesand, T.M. and R.W. Kiefer. 1987. Remote Sensing and Image Interpretation. John Wiley and Sons. New York. USA
Longhurst, A.R. 1988. Analysis Of Marine Ecosystems. Academic Press Linited. London. UK

NASA. 2005. Time Series Data and Applications. MODIS-Terra.
http://www.gsfc.nasa.gov. [13 April 2005]
http://modis.gsfc.nasa.gov. [03 April 2005]

NASA. 2005. Spesification from MODIS.
http://oceancolor.gsfc.nasa.gov. [29 April 2005]
http://podaac.jpl.nasa.gov. [10 April 2005]

NASA. 2005. Sea Surface Winds Speed and Vectors. QuickSCAT.
http://www.winds.jpl.nasa.gov. [29 Juni 2005]




Tidak ada komentar:

Posting Komentar