TUGAS MAKALAH
MARINE REMOTE SENSING,BIOLOGI
OCEONOGRAFI PERAMALAN UPAYA PERIKANAN TANGKAP SILVOFISHERY DAN SEARANCHING (fishing ground)

Abdul Gani Rahyamtel
07320130028
JURUSAN ILMU KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN
ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Berikut
adalah pengertian Pengindraan jauh menurut beberapa ahli :
Penginderaan jauh (remote sensing), yaitu penggunaan sensor
radiasi elektromagnetik untuk merekam gambar lingkungan bumi yang dapat
diinterpretasikan sehingga menghasilkan informasi yang berguna. (Curran, 1985).
Penginderaan Jauh (remote sensing) adalah ilmu dan seni
untuk memperoleh informasi tentang suatu objek daerah, atau fenomena melalui
analisis data yang diperoleh dengan
suatu alat tanpa kontak langsung dengan
objek, daerah, atau fenomena yang dikaji. (Lillesand dan Kiefer, 1998).
Penginderaan jauh merupakan suatu ilmu, karena terdapat
suatu sistimatika tertentu untuk dapat menganalisis informasi dari permukaan
bumi, ilmu ini harus dikoordinasi dengan beberapa pakar ilmu lain seperti ilmu
geologi, tanah, perkotaan dan lain sebagainya. (Everett Dan Simonett 1976)
Ikan dengan
mobilitasnya yang tinggi akan lebih mudah dilacak disuatu area melalui
teknologi ini karena ikan cenderung berkumpul pada kondisi lingkungan tertentu
seperti adanya peristiwa upwelling, dinamika arus pusaran (eddy) dan
daerah front gradient pertemuan dua massa air yang berbeda baik itu
salinitas, suhu atau klorofil-a. Pengetahuan dasar yang dipakai dalam melakukan
pengkajian adalah mencari hubungan antara spesies ikan dan faktor lingkungan di
sekelilingnya. Dari hasil analisa ini akan diperoleh indikator oseanografi yang
cocok untuk ikan tertentu. Sebagai contoh ikan albacore tuna di laut utara
Pasifik cenderung terkonsetrasi pada kisaran suhu 18.5-21.5oC dan berassosiasi
dengan tingkat klorofil-a sekitar 0.3 mg m-3 (Polovia et al., 2001;
Zainuddin et al., 2004, 2006). Selanjutnya output yang didapatkan dari
indikator oseanografi yang bersesuaian dengan distribusi dan kelimpahan ikan
dipetakan dengan teknologi SIG. Data indikator oseanografi yang cocok untuk
ikan perlu diintegrasikan dengan berbagai layer pada SIG karena ikan sangat
mungkin merespon bukan hanya pada satu parameter lingkungan saja, tapi berbagai
parameter yang saling berkaitan. Dengan kombinasi SIG, inderaja dan data lapangan
akan memberikan banyak informasi spasial misalnya dimana posisi ikan banyak
tertangkap, berapa jaraknya antara fishing base dan fishing ground yang
produktif serta kapan musim penangkapan ikan yang efektif. Tentu saja hal ini
akan memberi gambaran solusi tentang pertanyaan nelayan kapan dan dimana bias
mendapatkan banyak ikan.
Dengan teknologi inderaja
faktor-faktor lingkungan laut yang mempengaruhi distribusi, migrasi dan
kelimpahan ikan dapat diperoleh secara berkala, cepat dan dengan cakupan area
yang luas. Faktor lingkungan tersebut antara lain suhu permukaan (SST), tingkat
konsentrasi klorofil-a, perbedaan tinggi permukaan laut, arah dan kecepatan
arus dan tingkat prosuktivitas primer.ikan dengan mobilitas yang tinggi akan
lebih muda dilacak disuatu area melalui teknologi ini karena ikan cenderung
berkumpul pada kondisi lingkungan tertentu seperti adanya upwelling (Zainuddin,
2006).
1.2.Permasalahan
Beranjak dari latar belakang di atas, permasalahan dalam
penulisan makalah ini adalah bagaimana menentukan dearah panangkapan ikan (fishing ground) dengan mengunakan teknologi
sistem penginderaan jauh.
1.3. Tujuan
Ada pun tujuan dari penulisan
makalah ini khususnya untuk bidang kelautan dan perikanan :
1.
Mengetahui ikan di laut berada dan kapan
bisa ditangkap
2.
jumlah yang berlimpah merupakan
pertanyaan yang sangat biasa didengar.
3.
Meminimalisir usaha penangkapan
dengan mencari daerah habitat ikan, disisi biaya BBM yang besar, waktu dan
tenaga nelayan
4.
Mengetahui area dimana ikan bisa tertangkap
dalam jumlah yang besar
1.4. Manfaat :
Salah satu
alternatif yang menawarkan solusi terbaik adalah mengkombinasikan kemampuan SIG
dan penginderaan jauh (inderaja) kelautan. Dengan teknologi inderaja
faktor-faktor lingkungan laut yang mempengaruhi distribusi, migrasi dan
kelimpahan ikan dapat diperoleh secara
berkala, cepat dan dengan cakupan area yang luas.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penjelasan Teori
Pemanfaatan sumberdaya ikan di laut semakin intensif
dan daya jangkauan operasi penangkapan ikan oleh para nelayan semakin luas dan
jauh dari daerah asal nelayan tersebut. Konflik sering terjadi karena tidak
jelasnya wilayah pemanfaatan yaitu dapat melibatkan nelayan dalam satu daerah
yang sama ataupun antara daerah yang satu dengan dengan daerah lainnya. Salah
satu upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam menghindari terjadinya konflik
pemanfaatan adalah dengan mengendalikan perkembangan kegiatan penangkapan ikan
melalui penerapan zonasi jalur penangkapan ikan di laut, berdasarkan Kepmentan
No. 392 tahun 1999 tentang jalur-jalur penangkapan ikan (Alisyahbana dan Iksal, 2012).
Pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya kelautan dan
perikanan harus memperhatikan daya dukung dan kemampuan asimilasi wilayah laut,
pesisir. Kesinambungan ketersediaansumberdaya merupakan kunci dalam pemanfaatan
dan pengelolaan sumberdayakelautan dan perikanan. Sektor kelautan dan perikanan
dapat menjadi salah satu sumber pertumbuhan ekonomi penting karena:
1.
Kapasitas suplai sangat besar,
sementara permintaan terus meningkat
2.
Pada umumnya output dapat
diekspor, sedangkan input berasal darisumber daya
3.
Dapat membangkitkan industri hulu
dan hilir yang besar,sehingga menyerap tenaga kerja cukup banyak
4.
Umumnya berlangsung di daerah;dan
5.
Industri perikanan, bioteknologi dan
pariwisata bahari bersifat dapat diperbarui(renewable resources),
sehingga mendukung pelaksanaan pembangunan berkelanjutan (Manik, 2009).
Teknologi penginderaan jauh, baik system optis maupun
non optis merupakan perpaduan teknologi yang sangat canggih (Hi- tech). Dimulai
dari teknologi untuk mendapatkan data dan peta dalam rangka eksplorasi
sumberdaya kelautan dan pesisir menggunakan satelit dan Echo-sounder, kemudian
sistem basis data dan pengolahan citra satelit tersebut, dan di akhiri dengan
analisis dan interpretasi citra. Kesemua proses tersebut diatas yang melibatkan
kecanggihan teknologi tentunya tidak akan berarti jika sumberdaya manusia yang
terlibat didalamnya kurang kompeten. Oleh karena itu kemampuan sumberdaya
manusia dalam mengolah dan menginterpretasi data dan citra merupakan salah satu
faktor yang sangat berperan dalam menentukan keberhasilan (Human touch).
Tenaga ahli yang dimiliki oleh Lab. Inderaja dan SIG memiliki keahlian dan
pengalaman yang akan menghasilkan suatu analisis dan kesimpulan yang
berkualitas tinggi (Fuad, 2013)
Pengukuran
kondisi atau faktor oseanografi perairan dilakukan dengan cara :
1.
Suhu
Pengukuran suhu dilakukan setiap
jam di lokasi penangkapan ikan. Pengukuran suhu permukaan laut digunakan untuk
verifikasi perhitungan suhu dari satelit NOAA. Jadwal lintasan satelit NOAA
diperoleh dari prediksi orbit dari stasiun NOAA.
2.
Salinitas
Salinitas diukur pada saat
penangkapan di lokasi ZPPI.
3.
Arus permukaan
Arus permukaan diukur di lokasi
penangkapan ikan, baik arah maupun kecepatannya
4. Kedalaman perairan, kondisi laut,
cuaca
Ketiga parameter tersebut diukur di
lokasi ZPPI pada saat penangkapan ikan dilakukan. Kedalaman perairan diukur
dengan menggunakan fish finder
Ada dua jenis penginderaan jarak jauh.
1. Penginderaan Pasif
Sensor mendeteksi radiasi alam yang
tercermin emitted atau objek atau sekitarnya yang diamati. Tercermin dari sinar
matahari biasanya penginderaan ini menggunakan sumber radiasi diukur oleh
sensor pasif. Contoh penginderaan pasif termasuk sensor film fotografi,
infra-merah, yang digabungkan perangkat, dan radiometers. , di sisi lain,
energi emits untuk memindai benda dan daerah mana yang pasif Sensor kemudian
mendeteksi dan mengukur radiasi yang dipantulkan atau
backscattered dari target.
2. Penginderaan aktif
Radar adalah contoh penginderaan
aktif dari jarak jauh di mana waktu tunda antara emisi dan kembali diukur,
membangun lokasi, ketinggian, kecepatan dan arah obyek.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Peramalan Upaya Perikanan Tangkap
3.1.1. Peramalan
Secara Modern Dengan Menggunakan Remote Sensing
Mengapa
penting :
Untuk keakuratan estimasi fishing
ground, yang perlu dilakukan mengkolaborasikan data acoustic, citra satelit
remote sensing dan data oseanograifi dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Langkah dasarnya dengan metode
remote sensing satelit, secara ex situ kita harus menemukan perairan yang
memiliki klorofil (plankton).
2. Kemudian, menganalisis hubungannya
dengan data oseanografi (suhu, salinitas dan arus) yang juga didapatkan dari
satelit dan instrumen oseanografi yaitu argo float.
3. Kemudian hasil analisis data dari
dua instrumen tersebut (satelit dan argo float) dibuat peta estimasi fishing
ground yang up to date. Selanjutnya peta estimasi tersebut direlay ke armada
penangkapan. Berbekal peta estimasi tersebut armada segera menuju lokasi yang
telah diestimasi, lalu mengkolaborasikan peta tersebut dengan data acoustic
yang didapatkan dengan echosounder secara in situ (langsung) pada perairan,
kemudian dilakukan pemanfaatan (penangkapan) ikan.
3.2.Penerapan Teknologi Pengindraan
Jauh (remote sensing) Untuk Penangkapan Ikan
Pemanfaatan teknlogi
Pengindraan jauh untuk sumberdaya perikanan didasari oleh suatu kajian mengenai
karakteristik permukaan laut dimana dari sekian banyak karakteristik permukaan laut yang di
deteksi oleh satelit pada prinsipnya ada tiga elemen utama yang digunakan untuk
penentuan potensi daerah penangkapan ikan yaitu: suhu permukaan laut (SPL) dan
persebaran klorofil.
Terdapat sejenis plankton yang mengandung klorofil (zat hijau daun). Plankton
ini merupakan makanan ikan-ikan kecil yang pada gilirannya akan menjadi makanan
bagi ikan yang lebih besar. Jadi dengan mendeteksi lokasi klorofil, maka secara
tak langsung akan mendeteksi lokasi yang mungkin banyak ikannya. Cara mendeteksi
klorofil ini, pada dasarnya adalah sangat sederhana.
Sensor yang ada pada satelit diberi
filter hijau (band hijau) secara digital, artinya detektor akan mendeteksi
sinar hijau saja. Jadi sensor mendeteksi klorofil yang ada di laut. Tentu saja
sangat perlu dilakukan beberapa sample pengukuran di laut (in-site, pengukuran
di tempat), karena belum tentu sinar hijau yang dicatat oleh sensor satelit
berasal dari klorofil. Setelah melakukan pengukuran di beberapa tempat dengan
kapal misalnya, maka kini dapat dilakukan interpolasi atau ekstrapolasi terhadap
data / citra satelit yang mempunyai liputan yang sangat luas itu; situasi
klorofil pada lokasi yang luas dapat ditentukan dengan cepat. Seterusnya para
nelayan akan diberi tahu untuk menentukan daerah operasi mereka.
Lokasi
tempat berkumpulnya ikan dapat ditentukan dengan kombinasi antara lain :
1. lokasi klorofil
2.
suhu permukaan laut
3.
pola arus laut
4. cuaca, serta karakter toleransi
biologis ikan terhadap suhu air.
Terdapat
beda suhu di seantero muka laut. Hal ini disebabkan oleh naiknya lapisan air
laut di sebelah bawah ke atas (upwelling) karena perbedaan suhu. Kenaikan
lapisan air ini juga membawa zat makanan bagi kehidupan di laut. Jadi dengan
mendeteksi upwelling akan dapat pula memberi petunjuk akan adanya ikan. Di
samping itu setiap jenis ikan memiliki zona suhu yang tertentu sebagai
habitatnya. Satu alternatif yang sangat tepat untuk mengatasi masalah tersebut
di atas adalah menggunakan teknologi penginderaan jauh.
1.
Pendeteksian Ikan secara langsung
untuk keperluan penangkapan ikan dan pendugaan stok ikan, pendeteksian ikan
secara langsung dilakukan dengan 2 cara Menggunakan tranportasi udara Pengamat
terbang dan mencari kumpulan ikan (fish schooling). Pendeteksian yang dilakukan
adaah identifikasi jenis, ukuran dan jumlah dari kumpulan ikan tersebut.
Pendeteksian jenis ini menuntut keahlian pengamat dalam mendeteksi ikan.
Menggunakan teknologi akustik (echosounder) Dengan menggunakan teknologi sonar,
ikan dapat dideteksi secara langsung dari atas kapal. Akurasi dan luas wilayah
pendeteksian dapat diatur secara mekanik dan elektronik. Data pendeteksian
dapat disimpan untuk diolah nanti
2.
Pendeteksian Ikan secara tidak langsung
Penginderaan jauh secara tidak langsung adalah dengan menggunakan kemampuan mendeteksi habitat yang sesuai untuk tempat berkumpulnya ikan Pendeteksian secara berkelanjutan membutuhkan data yang berkelanjutan pula. Kemampuan menyimpan dan mengolah data ini menjadikan Penginderaan GIS (Geographical Information SystemàJauh
Penginderaan jauh secara tidak langsung adalah dengan menggunakan kemampuan mendeteksi habitat yang sesuai untuk tempat berkumpulnya ikan Pendeteksian secara berkelanjutan membutuhkan data yang berkelanjutan pula. Kemampuan menyimpan dan mengolah data ini menjadikan Penginderaan GIS (Geographical Information SystemàJauh
3.
Pendeteksian wilayah Aquakultur
Budidaya ikan sangat tergantung dengan lokasi. Citra saletit yang komprehensif dapat membantu memilih lokasi yang ideal Budidaya ikan dan kerang mutiara di laut juga memerlukan data perubahan kondisi perairan yang kontinu. Budidaya jenis ini sangat dipengaruhi kualitas air dan kondisi perairan sebagai contoh; blooming alga terutama jenis yang beracun (Harmful Alga Blooms HAB).
Budidaya ikan sangat tergantung dengan lokasi. Citra saletit yang komprehensif dapat membantu memilih lokasi yang ideal Budidaya ikan dan kerang mutiara di laut juga memerlukan data perubahan kondisi perairan yang kontinu. Budidaya jenis ini sangat dipengaruhi kualitas air dan kondisi perairan sebagai contoh; blooming alga terutama jenis yang beracun (Harmful Alga Blooms HAB).
3.4. Penerapan Teknologi Inderaja Untuk
Penangkapan Ikan
Inderaja dengan menggunakan
satelit merupakan sarana yang sangat bermanfaat dalam mengelola sumberdaya
perikanan secara bijaksana, termasuk kegunaanya untuk mendeteksi zona potensi
penangkapan ikan. Untuk perikanan, bukanlah ikan yang tampak langsung, tetapi
adalah fenomena alam yang memungkinkan adanya ikan di suatu tempat, karena pada
tempat itu banyak terdapat makanan ikan dan mempunyai kondisi lingkungan yang
sesuai dengan jenis ikan tertentu.
Terdapat
sejenis plankton yang mengandung klorofil (zat hijau daun). Plankton ini
merupakan makanan ikan-ikan kecil yang pada gilirannya akan menjadi makanan
bagi ikan yang lebih besar. Jadi dengan mendeteksi lokasi klorofil, maka secara
tak langsung akan mendeteksi lokasi yang mungkin banyak ikannya. Cara
mendeteksi klorofil ini, pada dasarnya adalah sangat sederhana. Sensor yang ada
pada satelit diberi filter hijau (band hijau) secara digital, artinya detektor
akan mendeteksi sinar hijau saja. Jadi sensor mendeteksi klorofil yang ada di
laut. Tentu saja sangat perlu dilakukan beberapa sample pengukuran di laut
(in-site, pengukuran di tempat), karena belum tentu sinar hijau yang dicatat
oleh sensor satelit berasal dari klorofil. Setelah melakukan pengukuran di
beberapa tempat dengan kapal misalnya, maka kini dapat dilakukan interpolasi
atau ekstrapolasi terhadap data / citra satelit yang mempunyai liputan yang
sangat luas itu; situasi klorofil pada lokasi yang luas dapat ditentukan dengan
cepat. Seterusnya para nelayan akan diberi tahu untuk menentukan daerah operasi
mereka.
3.5. Hubungan
Antara Fenomena Alam Dengan Teknologi Inderaja
Dalam kaitannya dengan teknologi
inderaja, fenomena merambatnya (propagation) energi matahari ke bumi dan reaksi
dari obyek-obyek di bumi terhadap energi matahari tersebut (obyek di bumi dapat
memantulkan/reflected, memancarkan/emitted,mengalirkan/transmitted maupun
menyerap/ absorbed energi matahari yang datang padanya), menjadi unsur utama
yang harus ditelaah dan dapat membuahkan ilmu. Selain itu, angkasa luar beserta
fenomenanya, yaitu tidak adanya gaya gravitasi, karakteristik planet-planet di
alam semesta maupun perputaran bumi pada porosnya membuat manusia menciptakan
satelit yang mengorbit di angkasa luar, sama seperti planet-planet di alam
tersebut. Kemudian untuk menghubungkan fenomena energi matahari dengan
perkembangan teknologi satelit ini, manusia menciptakan alat optik yang
diletakan pada satelit dan dapat merekam energi matahari yang dipantulkan
(reflected) , diserap (absorbed) maupun di pancarkan (emitted) oleh obyek-obyek
di bumi. Sehingga terjadilah apa yang disebut dengan teknologi inderaja optik
(optical remote sensing) yang antara lain dapat menggunakan wahana satelit
sebagai sarananya atau dikenal dengan sebutan satellite remote sensing.
Fenomena yang terjadi di alam pada dasarnya mengacu pada kaidah bahwa energi
matahari yang berinteraksi dengan obyek-obyek di bumi ini berada pada kisaran
gelombang elektromagnetik tertentu (sebagaimana dijelaskan pada Gambar 1).
Gambar 1. Spektrum Gelombang
Elektromagnetik (Lillesand and Kiefer, 1987)
Dalam perjalanannya, sebagian dari
energi ini akan dipantulkan oleh partikel debu maupun molekul air ataupun
mengalami refraksi (scattered radiation) pada lapisan atmosfir. Sementara
sebagian dapat berinteraksi dengan bumi dan dapat dipantulkan (reflected
energy), diserap (absorbed energy), ataupun dialirkan ke lapisan lain
(transmitted energy). Data yang dipantulkan obyek di bumi (disebut sebagai
nilai reflectance) ini yang direkam oleh sensor pada satelit, dikirim ke
stasiun bumi dan diterjemahkan sebagai nilai kecerahan (brightness value) atau
nilai digital (digital value) saat disimpan pada computer compatible tape (CCT)
untuk pemanfaatan lebih lanjut (lihat Gambar 2).
Gambar 2. Uraian interaksi obyek-obyek di permukaan
bumi dengan gelombang
elektromagnetik sehingga dihasilkan citra inderaja
elektromagnetik sehingga dihasilkan citra inderaja
Energi elektromagnetik yang
dipantulkan, diserap, dialirkan maupun di pancarkan ini sifatnya sangat
bervariasi tergantung pada karakteristik obyek-obyek di permukaan bumi
tersebut. Keadaan ini menunjukan bahwa setiap obyek dibumi mempunyai spectral
respond (reaksi spektral) yang berbeda. Hal inilah yang dimanfaatkan dalam
sistim inderaja melalui sistim sensor pada satelit yang juga mempunyai spectral
sensitivity (kepekaan terhadap spektral) tertentu sebagai dasar terbentuknya
data inderaja. Adapun karakteristik spektral dari beberapa unsur-unsur utama di
permukaan bumi, yaitu tumbuhan, tanah dan air dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Karakteristik spektral reflektansi tanah,
air dan vegetasi (Lillesandand Kiefer, 1987)
3.6. Teknologi
Inderaja Untuk Perikanan
Dengan mengacu pada fenomena alam
yang menunjukan adanya karakteristik obyek di bumi yang sangat spesifik dalam
merespond energi matahari (yang berada pada spektrum elektromagnetik), yang
antara lain ditunjukan pada gambar 3. Dapat dilihat peranan spektrum tampak
mata (visible spectrum) untuk sumberdaya kelautan, yang ditunjukan oleh kurva
reflectancenya pada tubuh air. Spektrum ini mempunyai panjang gelombang
berkisar antara 0.4-0.7 um, yang terdiri dari spektrum tampak mata biru
(visible blue) dengan panjang gelombang 0.4–0.5 um, spektrum tampak mata hijau
(visible green) dengan panjang gelombang 0.5–0.6 um dan spektrum tampak mata
merah (visible red) dengan panjang gelombang 0.6–0.7 um (Jensen, 1986;
Lillesand and Kiefer, 1987; Swain and Davis, 1978).
Kemampuan merambat (propagation) di dalam kolom air dari ketiga spektrum tampak mata tersebut dan reaksi spektralnya sangatlah beragam. Gelombang tampak mata biru (visible blue) mempunyai kemampuan rambat yang sangat tinggi, dimana gelombang ini dapat menebus lapisan air sampai ke dalaman 100 m (Nybakken, 1992). Gelombang tampak mata hijau (visible green) mempunyai kemampuan rambat (propagation) yang lebih pendek di dalam tubuh air dibandingkan dengan gelombang tampak mata biru (visible blue). Sedangkan gelombang tampak mata merah (visible red) merupakan gelombang yang terpendek dalam menebus lapisan kolom air. Di dalam kolom air gelombang tampak mata ini akan mengalami absorsi maupun transmisi. Dan apabila gelombang ini berinteraksi dengan materi yang berada di dalam kolom air barulah akan terjadi refleksi yang nilainya akan direkam oleh sensor pada satelit.
Kemampuan merambat (propagation) di dalam kolom air dari ketiga spektrum tampak mata tersebut dan reaksi spektralnya sangatlah beragam. Gelombang tampak mata biru (visible blue) mempunyai kemampuan rambat yang sangat tinggi, dimana gelombang ini dapat menebus lapisan air sampai ke dalaman 100 m (Nybakken, 1992). Gelombang tampak mata hijau (visible green) mempunyai kemampuan rambat (propagation) yang lebih pendek di dalam tubuh air dibandingkan dengan gelombang tampak mata biru (visible blue). Sedangkan gelombang tampak mata merah (visible red) merupakan gelombang yang terpendek dalam menebus lapisan kolom air. Di dalam kolom air gelombang tampak mata ini akan mengalami absorsi maupun transmisi. Dan apabila gelombang ini berinteraksi dengan materi yang berada di dalam kolom air barulah akan terjadi refleksi yang nilainya akan direkam oleh sensor pada satelit.
Adapun kaitan antara fenomena alam
dari gelombang elektromagnetik ini dengan perikanan pada prinsipnya mengacu
pada pangkal dari semua bentuk kehidupan dalam laut, yaitu aktivitas
fotosintetik tumbuhan akuatik. Dimana dengan menggunakan bantuan energi cahaya
matahari, dapat mengubah senyawa-senyawa anorganik menjadi senyawa organik yang
kaya energi dan dapat menjadi sumber makanan bagi semua organisme laut
(Nybakken, 1992). Diantara semua tumbuhan akuatik fitoplanktonlah yang mengikat
sebagian besar energi matahari, dan menjadi dasar (level pertama) terbentuknya
rantai makanan dalam ekosistem bahari, dan sangat penting keberadaannya bagi
semua penghuni habitat bahari (Nybakken, 1992; Dupouy, 1991). Pada dasarnya
fitoplankton terdiri dari alga yang berukuran mikroskopik yang berisikan
pigment fotosintetik berwarna hijau, dan biasa disebut sebagai klorofil
(Dupouy, 1991). Klorofil yang berwarna hijau inilah yang pada dasarnya menjadi
sumber informasi perikanan laut karena keterkaitannya yang erat dengan produktivitas
primer perikanan, sehingga dapat disimpulkan dimana terdapat konsentrasi
klorofil yang tinggi disitu terdapat juga konsentrasi biota atau ikan laut yang
tinggi.
Dalam kaitannya dengan inderaja, klorofil merupakan obyek yang mudah dianalisa untuk memprediksi potensi perikanan laut. Karena unsur ini akan menyerap gelombang tampak mata biru dan memantulkan gelombang tampak mata hijau secara kuat. Sehingga ketika terjadi peningkatan kandungan klorofil, dapat dilihat adanya peningkatan energi yang dipantulkan oleh gelombang tampak mata hijau, dan penurunan pantulan gelombang tampak mata biru yang signifikan (Gambar 4)(Swain and Davis, 1978).
Dalam kaitannya dengan inderaja, klorofil merupakan obyek yang mudah dianalisa untuk memprediksi potensi perikanan laut. Karena unsur ini akan menyerap gelombang tampak mata biru dan memantulkan gelombang tampak mata hijau secara kuat. Sehingga ketika terjadi peningkatan kandungan klorofil, dapat dilihat adanya peningkatan energi yang dipantulkan oleh gelombang tampak mata hijau, dan penurunan pantulan gelombang tampak mata biru yang signifikan (Gambar 4)(Swain and Davis, 1978).
Gambar 4. Spektral reflektans dari air laut dgn
konsentrasi klorofil yang berbeda (Swain and Davis, 1978)
Contoh dari penerapan karakteristik
spektrum tampak mata (visible spectrum) untuk memprediksi produktivitas laut
(marine productivities) melalui konsentrasi klorofil salah dapat dilihat pada
gambar 5. Dimana warna hijau tampak sebagai reaksi dari spektrum tampak mata
hijau yang berinteraksi dengan Klorofil dan warna biru merupakan reaksi dari
laut yang berinteraksi dengan spektrum tampak mata biru, yang dalam penelitian
ini kedua unsur tersebut diberi warna berbeda, yaitu hitam kecoklatan untuk
laut dalam, biru untuk konsentrasi klorofil rendah dan hijau untuk konsentrasi
klorofil tinggi. Akan tetapi, fitoplankton atau klorofil umumnya hanya menghuni
suatu lapisan air permukaan yang tipis dimana terdapat cukup cahaya matahari,
dan mempunyai suhu yang relatif homogen. Sedangkan zat hara anorganik yang
dibutuhkan fitoplankton untuk tumbuh dan berkembang biak terletak pada zona
fotik yang terdapat jauh dari permukaan dengan suhu yang berbeda jauh (lebih
dingin) dengan suhu permukaan. Sehingga dibutuhkan suatu mekanisme untuk
mengangkat massa air yang kaya akan hara ini ke permukaan sehingga dapat
bercampur dengan massa air permukaan dan dapat dimanfaatkan oleh fitoplankton
untuk tumbuh dan berkembang (Nybakken, 1992). Dalam hal ini perpindahan massa
air ke atas (upwelling), arus-arus divergensi dan arus-arus khusus, yang
menyebabkan terjadinya fenomena front dan eddie di laut, dapat memindahkan dan
mencampurkan kedua massa air yang berbeda suhu tersebut dengan bantuan kekuatan
angin. Upwelling merupakan penaikan massa air laut dingin dan kaya nutrien ke
lapisan di atasnya (Longhurst, 1988).
Gambar 5. Distribusi klorofil pada
perairan Nusa Tenggara Timur dengan menggunakan data Modis_Terra
(http://www.gsfc.nasa.gov)
Front merupakan pertemuan dua massa
air yang berbeda karakteristiknya, misalnya pertemuan antara massa air laut
Jawa yang agak panas dengan massa air Samudera Hindia yang lebih dingin dan
ditandai dengan gradient suhu permukaan laut yang sangat jelas pada kedua sisi
front (Hasyim dan Salma, 1998). Berikut ini merupakan gambaran dari proses
terjadinya upwelling (Gambar 6).
Gambar 6. Proses terjadinya upwelling dan downwelling
Umumnya sebaran konsentrasi
klorofil-a tinggi di perairan pantai sebagai akibat dari tingginya suplai
nutrien yang berasal dari daratan melalui limpasan air sungai, dan sebaliknya
cenderung rendah di daerah lepas pantai. Meskipun demikian pada beberapa tempat
masih ditemukan konsentrasi klorofil-a yang cukup tinggi, meskipun jauh dari
daratan. Keadaan tersebut disebabkan oleh adanya proses sirkulasi massa air
yang memungkinkan terangkutnya sejumlah nutrien dari tempat lain, seperti yang
terjadi pada daerah upwelling. Sedangkan eddie merupakan gerakan air berpusar
searah arus yang disebabkan adanya pertemuan massa air panas dan dingin sehingga
dapat tercipta cold ring (cold eddie) dan warm ring (warm eddie) (Gambar 7)
(Longhurst, 1988). Upwelling, front dan eddie merupakan perangkap zat hara dari
kedua massa air yang berbeda suhu tersebut sehingga dapat merupakan feeding
ground bagi jenis-jenis ikan pelagis dan juga dapat menjadi penghalang bagi
pergerakan migrasi ikan karena pergerakan airnya yang sangat cepat dan
bergelombang besar (Hasyim dan Salma, 1998). Hal ini menyebabkan terjadinya
peningkatan stok ikan di ketiga tempat tersebut dan menjadi tempat yang ideal
untuk penangkapan ikan jenis pelagis. Dengan demikian suhu dapat menjadi salah
satu paramater yang dapat dimanfaatkan oleh sistim inderaja untuk menduga stok
ikan, yaitu dengan menggunakan gelombang thermal. Karena obyek di bumi, termasuk
tubuh air, juga merupakan sumber radiasi, dimana obyek yang mempunyai suhu di
atas nilai absolut 0oC akan memancarkan energi panas ke atmosfir (Lillesand and
Kiefer, 1987). Energi inilah yang ditangkap oleh sensor thermal pada satelit
untuk diterjemahkan menjadi nilai digital pada citra satelit.
Gambar 7. Perbedaan eddies pada
kedalaman perairan(www.oc.nps.navy.mil)
Contoh dari pemanfaatan fenomena
suhu laut dan gejala-gejala alam seperti upwelling, eddie dan front untuk
memonitor daerah penangkapan ikan jenis-jenis tertentu seperti skipjack, saury
dan sardine dapat dilihat pada Tabel 1 dan Gambar 8 di bawah ini.
Tabel 1.
Monitoring jumlah daerah penangkapan ikan pada kondisi oseanografi tertentu
(Tameishi, 1991).
3.7. Analisis Daerah Potensi Perikanan
Masalah utama yang dihadapi dalam
upaya optimalisasi hasil tangkapan kan khususnya ikan pelagis adalah sangat
terbatasnya data dan informasi mengenai kondisi oseanografi yang berkaitan erat
dengan daerah potensi penangkapan ikan. Armada penangkap ikan berangkat dari
pangkalan bukan untuk menangkap tetapi untuk mencari lokasi penangkapan
sehingga selalu berada dalam ketidakpastian tentang lokasi yang potensial untuk
penangkapan ikan, sehingga hasil tangkapannya juga menjadi tidak pasti. Oleh
karena itu, informasi mengenai daerah potensi penangkapan ikan sangat
diperlukan dalam pembangunan sektor perikanan, khususnya bagi kegiatan
penangkapan ikan. Informasi tersebut dapat diperoleh melalui kegiatan survei,
eksplorasi dan penelitian-penelitian dengan menelaah karakteristik serta
variabilitas dari parameter oseanografi. Pengamatan dan monitoring fenomena
oseanografi dan sumberdaya hayati laut memerlukan penggunaan serial data dalam
selang waktu observasi tertentu (harian, mingguan, bulanan atau tahunan). Dari
citra suhu permukaan laut (SPL) multitemporal dapat diperoleh informasi tentang
pola distribusi SPL dan upwelling atau front yang merupakan daerah potensi
ikan. Dari citra klorofil-a dapat diperoleh informasi konsentrasi fitoplankton
(mg/m3) dengan nilai yang diwakili oleh degradasi warna yang berbeda. Diagram
alir untuk analisis daerah potensi perikanan disajikan pada Gambar 9.
Berikut ini adalah beberapa data dan
metode yang dapat dipakai dalam pengambilan dan analisis data parameter
oseanografi dari citra hasil download. Studi sebaran suhu permukaan laut dan
kandungan klorofil-a dengan menggunakan citra MODIS di wilayah perairan sekitar
Nusa Tenggara Timur (NTT) pada empat musim tahun 2006 dengan mengambil citra
perbulannya dan akan dilaksanakan pada bulan Juli 2007. Lokasi yang dijadikan
sebagai tempat penelitian atau daerah kajian penelitian adalah wilayah perairan
sekitar NTT dengan koordinat 119º-126ºBT dan 07º-12ºLS (Gambar 10).
Gambar 10. Peta wilayah perairan
sekitar Nusa Tenggara Timur (Sumber : Petalaut, 2005)
3.8. Kombinasi Aplikasi
Inderaja Dan Aplikasi SIG
Salah satu
contoh aplikasi penggunaan SIG dan inderaja pada penangkapan ikan tuna di laut
utara Pasific (Gambar 1). Disini terlihat bahwa dua database (satelit dan
perikanan tuna) dikombinasikan dalam mengembangkan spasial analysis daerah
penangkapan ikan tuna. Pada prinsipnya ada 4 layer/lapisan data yang
diintegrasikan yaitu suhu permukaan laut (SST) (NOAA/AVHRR), tingkat
konsentrasi klorofil (SeaWiFS), perbedaan tinggi permukaan air laut (SSHA) dan
eddy kinetik energi (EKE) (AVISO). Parameter pertama (SST) dipakai karena
berhubungan dengan kesesuaian kondisi fisiologi ikan dan thermoregulasi untuk
ikan tuna; sedangkan parameter yang kedua karena dapat menjelaskan tingkat
produktifitas perairan yang berhubungan dengan kelimpahan makanan ikan;
sementara parameter yang ketiga berhubungan dengan kondisi sirkulasi air daerah
yang subur seperti eddy dan upwelling ; dan parameter terakhir berhubungan
dengan indeks untuk melihat daerah subur dan kekuatan arus yang mungkin
mempengaruhi distribusi ikan. Data penangkapan ikan tuna (lingkaran putih pada
peta yang ditunjukkan dengan tanda panah) diplot pada peta lingkungan yang
dibangkitkan dari citra satelit. Sedangkan panel atau layer yang paling atas
menunjukkan peta prediksi hasil tangkapan (Agus, 2009)
Gambar 1 memberi
informasi bahwa ikan tuna tertangkap dalam jumlah yang besar (terkonsentrasi)
pada posisi sekitar 35oLU dan 160oBT bersesuaian dengan kondisi SST sekitar
20oC dan berassosiasi dengan tingkat klorofil-a sekitar 0.3 mg m-3. Konsentrasi
ikan tersebut berada pada posisi positif anomaly permukaan laut (warna merah)
yang bertepatan dengan kondisi EKE yang relatif lebih tinggi. Dari Gambar itu
terlihat bahwa prediksi hasil tangkapan dengan peluang yang tinggi (dikenal
dengan istilah habitat hotspot) juga menkonfirmasi daerah produktif tersebut.
Setiap spesies ikan mempunyai karakteristik oseanografi kesukaannya sendiri dan
cenderung menempati daerah tertentu yang bisa dipelajari. Hal ini dapat
diketahui dengan pendekatan SIG dan inderaja multi-layer tersebut.
Gambar 1.
Aplikasi SIG dan inderaja dalam kegiatan penangkapan ikan tuna pada bulan
November 2000 (resolusi semua layer citra = 9 Km) (Zainuddin, 2006).
Contoh lain
aplikasi SIG di selatan pulau Hokkaido, Jepang dapat dilihat pada Gambar 2
berikut ini. Peta ini menunjukkan berbagai informasi spasial yang bisa kita
pahami tentang perikanan tangkap di sekitar pulau tersebut, khususnya perikanan
cumi-cumi. Disni peta SIG menggambarkan dimana posisi pelabuhan perikanan (fishing
port), jarak antara fishing ground (daerah penangkapan)
dan pelabuhan, distribusi hasil tangkapan, jumlah kapal yang tersedia. Dari
informasi ini dapat dilihat bahwa distribusi musiman daerah penangkapan, hasil
tangkapan dan jumlah kapal penangkap akan menghasilkan informasi tentang jalur
migrasi spesies cumi-cumi tersebut yaitu cenderung ke utara pada bulan Juni dan
kembali ke selatan pada bulan November.
Gambar 2.
Peta distribusi daerah penangkapan cumi-cumi dan jumlah kapal dan hasil
tangkapannya di sekitar pulau Hokkaido, Jepang pada bulan Juni (kiri) dan
November (kanan).
Dunia
kelautan merupakan dunia yang sangat dinamis, disini hampir semunya bergerak
kecuali dasar lautan. Di wilayah yang merupakan bagian bumi terbesar ini,
terdapat banyak sumber daya alam yang bisa menghasilkan pendapatan yang tinggi
untuk suatu daerah atau pemerintahan, contohnya adalah sumber daya ikan.
Indonesia merupakan suatu negara yang sangat luas dan memiliki sumber daya
perikanan yang sangat besar juga. Kurangnya pemanfaatan teknologi dalam
eksploitasi sumber daya ikan2 tersebut menyebabkan tidak optimumnya pemanfaatan
sumber daya ikan yang ada. Pemanfaatan suatu teknologi seperti Sistem Informasi
Geografis untuk perikanan di harapkan dapat mampu memberikan suatu gambaran dan
suatu tampilan spasial tentang sumber-sumber atau spot-spot perikanan di
wilayah indonesia yaitu dengan menggabungkan faktor-faktor lingkungan yang
mendukung tempat hidup dan berkumpulnya berbagai jenis ikan tersebut sehingga
dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan hasil penangkapan ikan (Kusyanto, 2001).
Setiap jenis
ikan mempunyai suatu kriteria-kriteria lingkungan tersendiri untuk kenyaman
hidupnya, namanya juga mahluk hidup. Kriteria-kriteria lingkungan tersebut
adalah seperti suhu, makanan (chlorophyl-a), salinitas, pertemuan masa air
(eddy), upwelling, dll. Keadaan lingkungan yang merupakan syarat kebahagian
hidup bagi ikan2 tersebut merupakan suatu sebaran spasial yang dapat di olah
dengan Sistem Informasi Geografi (Subani dan Barus, 1988).
Data-data
lokasi pendaratan kapal penagkapan, batas pantai bisa diperoleh dari survei
lapangan dan peta dasar wilayah. Sistem informasi geografi merupakan suatu
interaksi antara data-data atribut dan data spasial yang bereferensi geografi.
Keunggulan SIG ini dapat dijadikan masukan berharga bagi para nelayan atau
pengusaha perikanan untuk mengetahuai lokasi-lokasi penangkapan ikan. Dengan
bantuan data SST, klorofil, PAR (Photosintesis Actibe Radiation) dll bulanan
dalam beberapa tahun yang diperoleh dari PJ dan dianalisis dengan SIG akan
memberikan tampilan secara geografis kencendrungan seberan dari faktor2
lingkungan yang disukai oleh ikan yang akhirnya memberikan gambaran daerah
perkiraan penangkapan ikan. SIG perikanan lebih sering bermain dengan bentuk
data raster. Data-data SST, klorofil dll tersebut merupakan suatu data dari
citra satelit yang berbentuk raster (Bengen, 2002).
Data raster
mempunyai kelemahan dalam proses penyimpaan dan kemampuannya berinteraksi
dengan data atribut. Data bentuk raster membutuhkan tempat penyimpanan yang
sangat besar sehingga boros hardisk, data raster juga merupakan data angka per
pixel sehingga tidak bisa di gabung dengan data tabel, keadaan ini terjadi apabila
data raster tersebut bersifat degradasi. Untuk bisa menggabungkannya dengan
data tabel harus di reklasifikasi terlebih dahulu, sehingga membentuk ID2.
Interkasi data atribut dengan data spasial sangat berguna pada lokasi
pendaratan ikan, dimana pelaporan secara berkala tentang hasil penagkapan ikan
akan memberikan informasi wilayah penghasil ikan terbesar dan informasi tentang
pemanfaatan potensi perikanan yang ada disekitar lokasi pendaratan kapal.
Pengembangan SIG untuk kelautan mempunyai dua kendala umum, pertama bahwa
dasar-dasar perkembangan SIG adalah untuk keperluan analisis keruangan pada
suatu lahan (land-based sciences), kedua analisis SIG untuk laut lebih banyak
menggunakan 3D, sedangkan SIG sendiri masih kurang mampu mengaplikasikan 3D secara
baik pada daerah2 yg luas (Subandar, 2009).
3.9. Aplikasi Sistem Informasi
Geografis (SIG) Untuk Zonasi Jalur Penangkapan Ikan Diperairan Kalimantan Barat
Jalur Penangkapan Ikan Berdasarkan
Kepmentan No. 392 Tahun 1999.
Peta
Modifikasi Jalur Penangkapan Ikan Berdasarkan Kepmentan No. 392 Tahun 1999
3.10.
Aplikasi Sistem Informasi Geografis Dalam
Penentuan Daerah Pengoperasian Alat Tangkap Gombang Di Perairan Selat Bengkalis
3.11.
Aplikasi Sistem Informasi Geografis Dalam
Penentuan Kesesuaian Kawasan Keramba Jaring Tancap Dan Rumput Laut
Kesesuaian
kawasan KJT dan rumput laut di perairan Pulau Tiga
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Penginderaan jauh (remote sensing), yaitu penggunaan sensor
radiasi elektromagnetik untuk merekam gambar lingkungan bumi yang dapat
diinterpretasikan sehingga menghasilkan informasi yang berguna. (Curran, 1985).
Penginderaan Jauh (remote sensing) adalah ilmu dan seni
untuk memperoleh informasi tentang suatu objek daerah, atau fenomena melalui
analisis data yang diperoleh dengan
suatu alat tanpa kontak langsung dengan
objek, daerah, atau fenomena yang dikaji. (Lillesand dan Kiefer, 1998).
Dengan teknologi inderaja
faktor-faktor lingkungan laut yang mempengaruhi distribusi, migrasi dan
kelimpahan ikan dapat diperoleh secara berkala, cepat dan dengan cakupan area
yang luas. Faktor lingkungan tersebut antara lain suhu permukaan (SST), tingkat
konsentrasi klorofil-a, perbedaan tinggi permukaan laut, arah dan kecepatan
arus dan tingkat prosuktivitas primer.ikan dengan mobilitas yang tinggi akan
lebih muda dilacak disuatu area melalui teknologi ini karena ikan cenderung
berkumpul pada kondisi lingkungan tertentu seperti adanya upwelling (Zainuddin,
2006).
4.2. Saran
Penggunaan
iptek dalam dunia dewasa ini sangat pesat, namun dibalik semua itu tersimpan
bahaya yang sangat mengancam, oleh karena itu penggunaan iptek khususnya dalam
sistem penginderaan jauh dalam kelautan haruslah tetap berpedoman pada kebaikan
dan kemajuan sumberdaya alam.
DAFTAR
PUSTAKA
Brown, B.O dan Minnet, P.J. 1999. MODIS Infrared Sea Surface Temperature
Algorithm. Algorithm Theoretical Basis Document Version 2.0. University of
Miami. Florida. Miami.
Colorado. 2004. Sea Surface Height Anomaly. TOPEX/POSEIDON.http://www.ccar.colorado.edu/.
[30 Juni 2005]
Dupouy, C. 1991. Satellite Ocean Color Use for Oceanic Resources: Monitoring ocean productivity using NIMBUS CZCS. Aplications of Remote Sensing in Asia and Oceania: Environmental Change Monitoring. Asian Association on Remote Sensing, Tokyo, Japan. pp 313-318
Dupouy, C. 1991. Satellite Ocean Color Use for Oceanic Resources: Monitoring ocean productivity using NIMBUS CZCS. Aplications of Remote Sensing in Asia and Oceania: Environmental Change Monitoring. Asian Association on Remote Sensing, Tokyo, Japan. pp 313-318
Hasyim, B. dan Nia Salma. 1998. Analisis Distribusi Suhu Permukaan Laut dan
Kaitannya Dengan Lokasi Penangkapan Ikan dan Laju Pancing Ikan Tuna di Perairan
Selatan Bali – Jawa Timur. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan Ke-8 MAPIN.
Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia. Jakarta, Indonesia. pp 249-256
Jensen, J.R. 1986. Introductory Digital Image Processing: A Remote Sensing Perspective. Prentice-Hall. Englewood – New Jersey. USA
LAPAN. 2004. Model Ekstraksi Data MODIS Untuk Penentuan Suhu Permukaan Laut
dan Klorofil. Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh.
Pekayon. Jakarta Timur.
Lillesand, M. dan Kiefer, R.W. 1990. Remote Sensing and Image Interpretation. John Wiley & Sons, Inc., New York.
Lillesand, M. dan Kiefer, R.W. 1990. Remote Sensing and Image Interpretation. John Wiley & Sons, Inc., New York.
Lillesand, T.M. and R.W. Kiefer. 1987. Remote Sensing and Image Interpretation. John Wiley and Sons. New York. USA
Longhurst, A.R. 1988. Analysis Of Marine Ecosystems. Academic Press
Linited. London. UK
NASA. 2005. Time Series Data and Applications. MODIS-Terra.
http://www.gsfc.nasa.gov. [13 April 2005]
NASA. 2005. Time Series Data and Applications. MODIS-Terra.
http://www.gsfc.nasa.gov. [13 April 2005]
http://modis.gsfc.nasa.gov.
[03 April 2005]
NASA. 2005. Spesification from MODIS.
http://oceancolor.gsfc.nasa.gov. [29 April 2005]
http://podaac.jpl.nasa.gov. [10 April 2005]
NASA. 2005. Spesification from MODIS.
http://oceancolor.gsfc.nasa.gov. [29 April 2005]
http://podaac.jpl.nasa.gov. [10 April 2005]
NASA. 2005. Sea Surface Winds Speed and Vectors. QuickSCAT.
http://www.winds.jpl.nasa.gov. [29 Juni 2005]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar